Jumat, 21 Februari 2014

Browse Manual » Wiring » » » » » » » » » » » Hukum dan Adab Sutrah Sebagai Pembatas Orang Yang Sedang Sholat

Hukum dan Adab Sutrah Sebagai Pembatas Orang Yang Sedang Sholat



Sutrah adalah pembatas yang terletak atau diletakkan didepan orang yang sedang sholat guna membatasi dirinya dengan orang  atau binatang yang berlalu ditempatnya sujud. Sutrah bisa berupa dinding, tembok, tiang, meja, kursi, kardus, sepeda dan lain-lainnya. 

Hukum Sutrah

Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, ada yang  berpendapat wajib juga ada yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).

Lalu berapa jauh jaraknya seseorang bisa lewat didepan orang yang sedang sholat kalau orang tersebut tidak memakai sutrah? 
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّيْ فَلاَ يَدَعَنَّ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian sholat maka jangan ia membiarkan seorangpun berlalu dihadapannya dan hendaklah ia menolaknya semampunya dan apabila ia tidak mau, maka hendaknya ia menahannya dengan keras, sesungguhnya dia itu tidak lain adalah syaithon”.

Maka dari sini diketahui bahwa apabila ada orang yang sholat tidak menghadap ke sutrah (pembatas), maka ia hanya terlarang berlalu dihadapannya dalam jarak jangkauan kedua tangan dimana sebagian ulama mengatakan jarak sejauh tiga hasta (satu hasta adalah antara ujung jari tengah sampai siku).

Berkata syaikh Ibnu Bazz dalam ta’liq beliau terhadap Fathul Bary  1/582 : “Kapan orang yang berlalu jauh dari hadapan orang yang sholat yang tidak meletakkan sutrah didepannya, maka ia telah selamat dari dosa, karena apabila ia telah jauh darinya menurut kebiasaan anggapan orang, maka tidaklah ia dinamakan orang yang berlalu dihadapannya dan ini sama halnya dengan orang berlalu dari belakang sutrah“.

Mendekat kepada Sutrah

Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)2

Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.

Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari , “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/115)

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu berkata:

كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ

“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)

Larangan seseorang  berjalan dihadapan orang yang sedang shalat karena jika ia mengetahui dosanya, ia akan lebih rela berdiri 40 tahun di tempatnya berdiri. Bagaimana dalam keadaan orang yang ramai seperti di Masjidil Haram?

Hadist yang dimaksud adalah hadist Abu Juhaim ra, dia berkata :

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لو يعلم المار بين يدي المصلي ماذا عليه لكان أن يقف أربعين خيرا له من أن يمر بين يديه

“ Rasulullah bersabda, ”Jika saja seorang lewat di hadapan seorang yang shalat mengetahui dosa yang dilakukannya, maka sungguh jika dia berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun) lebih baik baginya daripada lewat dihadapan orang yang shalat tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim )

Hukum sutrah di Mekkah menurut pendapat yang lebih benar – wallahu alam- adalah tetap diperintahkan, karena keumuman hadist-hadist tentang sutrah sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun walaupun begitu, jika keadaan ramai dan sulit dikendalikan, maka Allah tidak mewajibkan sesuatu kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah swt :

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

" Allah tidaklah membebani seseorang kecuali menurut kemampuaannya " ( Qs Al Baqarah : 286 )

Begitu juga, kita diperintahkan bertaqwa kepada Allah swt dan melaksanakan segala perintah-Nya sesuai dengan kemampuan kita, sebagaimana firman Allah swt :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

" Bertaqwalah kepada Allah swt sesuai dengan kemampuan kalian " ( Qs At Taghabun : 16 )

Artinya bagi yang ingin melewat sedang di depannya ada orang yang sholat, maka hendaknya dia menunggu atau mencari jalan lain. Dalam keadaan sesak dan ramai , apalagi disertai dengan perbuatan saling dorong, khususnya dalam thowaf, sehingga tidak bisa terkendali lagi, maka dalam keadaan seperti ini, insya Allah dimaafkan, dan termasuk pengecualian. Apalagi ada bebera pendapat yang menyatakan bahwa sutrah di Mekkah khususnya di Masjid Haram menjadi tidak berlaku, walaupun pendapat ini lemah, karena hadist-hadist yang menjadi sandarannya juga lemah, tetapi kita juga harus menghormatinya.

Hal ini juga berlaku bagi yang sholat, hendaknya dia mencari tempat sholat yang kira-kira jarang dilewati orang, jangan malah sengaja sholat di tengah jalan, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa jamaah haji. Jika dia sudah berusaha mencari tempat yang sepi, tapi tidak medapatkannya dan banyak jamaah yang lewat di depannya karena sempitnya tempat, maka dalam keadaan seperti ini insya Allah dimaafkan

Bolehkah makmum memakai sutrah?
Jika dalam sholat jama’ah, maka yang wajib memakai sutrah adalah imam, sedang makmum tidak diwajibkan karena sutrah imam secara otomatis menjadi sutrah makmum juga. Adapun dalilnya adalah hadist Abdulah bin Abbas ra bahwasanya ia berkata :

أقبلت راكبا على أتان أنا يومئذ قد ناهزت الاحتلام ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس بمنى فمررت بين يدي الصف فنزلت فأرسلت الأتان ترتع ودخلت في الصف فلم ينكر ذلك علي أحد

“ Pada suatu hari aku datang dengan mengendarai keledai, pada waktu itu aku sudah dewasa. Ketika itu Rosulullah saw sedang sholat bersama para sahabat di Mina, kemudian aku lewat di depan shof mereka, sedang keledainya aku biarkan makan, kemudian aku masuk ke dalam shof dan tidak ada satupun yang mengingkari perbuatanku tadi. “ ( HR Muslim )
(http://qurandansunnah.wordpress.com -  ahmadzain.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.